Rasa Syukur

UNGKAPAN syukur muncul dari bagaimana
cara pandang melihat anugerah. Sekecil apa pun nikmat jika dilihat dari sudut
yang lebih kecil, yang muncul selalu syukur: ah, masih ada yang lebih kurang.
Tapi sayangnya, kadang satu bisa lebih besar dari dua.
Nikmat Allah begitu besar buat
hamba-hamba-Nya. Dalam hal apa pun, tak ada nikmat yang luput pada diri seorang
hamba Allah. Termasuk dalam kehidupan keluarga.
Siapa pun pernah, bahkan mungkin sedang,
merasakan betapa tidak enaknya melalui hidup dengan sendiri. Dunia menjadi
terasa sempit, sederhana, dan berputar di situ-situ saja. Jangan heran jika
para lajang lebih gampang stres daripada yang sudah nikah.
Masih banyak kenikmatan lain yang tak
lagi bisa terhitung. Ada nikmat zhahir berupa penambahan materi. Dan juga
nikmat batin karena hidup terasa lebih berharga.
Menariknya, rasa syukur bisa muncul
tenggelam. Dan salah satu rumus agar ungkapan syukur tetap terjaga adalah
dengan memandang yang lebih sedikit. Dan, mencermati mereka yang lebih kurang.
Hal itulah yang kerap dilakukan Bu Sisri.
Sepertinya, tak ada ibu yang lebih
bahagia dari Bu Sisri. Ibu tiga anak ini selalu bersyukur, apa pun pemberian
Allah: sedikit, apalagi banyak. Lisannya seperti tak pernah kering dari kata
‘alhamdulillah’.
Padahal, kalau dilihat dari segi harta,
Bu Sisri bukan orang kaya. Rumahnya tak lebih dari enam puluh meter persegi.
Tidak tingkat, dan beratap genting biasa. Kalau hujan turun, Bu Sisri sudah
terlatih meletakkan ember untuk menampung atap-atap yang bocor. Tapi, ia tetap
bersyukur.
Yang selalu disikapi Bu Sisri tentang
rumahnya cuma satu: masih banyak mereka yang tak punya rumah. Ia selalu menutup
mata kalau ada tetangga, teman dekat yang punya rumah bagus. “Biarlah, itu
rezeki mereka!” ucap Bu Sisri kepada anak-anaknya.
Hampir tiap hari, Bu Sisri mengunjungi
tetangga yang rumahnya lebih kecil, lebih sempit, lebih sering bocor, dari
rumah Bu Sisri sendiri. Ia paksakan dirinya menetap selama sedikitnya satu jam.
Saat itulah ia bisa mendengarkan curhat para tetangga. Sedih. Jauh lebih sedih
dari keadaan rumah Bu Sisri. Setelah itu, ia pun berujar pelan, “Alhamdulillah.
Saya masih lebih baik, ya Allah!”
Yang paling membuat syukur Bu Sisri,
soal kamar mandi. Bayangkan, rumah berukuran empat kali tiga meter yang berjajar
sekitar sepuluh rumah dengan sepuluh keluarga cuma tersedia lima kamar mandi.
Padahal, satu rumah bisa terdiri dari enam orang. Buat cuci muka saja, mereka
mesti antri. Nggak kebayang sama Bu Sisri gimana kalau sudah kebelet buang air
besar. Walau sederhana, Bu Sisri masih
punya kamar mandi sendiri. Saat itulah, ia lagi-lagi bisa berucap,
“Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah!”
Ternyata, rasa syukur Bu Sisri membawa
berkah. Tanpa terduga sedikit pun, tanah rawa warisan dari mertuanya terjual
mahal. Padahal, tanah seluas empat ratus meter per segi itu nyaris terlupakan
suami dan Bu Sisri sendiri. Karena ada pembangunan jalan tembus, pemborong siap
membeli tanah itu seharga satu juta per meter. Dengan kata lain, suami Bu Sisri
dapat uang kaget senilai empat ratus juta rupiah. Subhanallah! Walhamdulillah!
Buat apa uang sebanyak itu? Bu Sisri
bingung. Ia menyerahkan urusan itu ke suaminya. Toh, itu memang hak suaminya
sendiri. Yang penting buat Bu Sisri, anak-anak tidak lagi bingung soal bayaran
sekolah. Itu saja. Yang lain, terserah.
Sejak itu, memang ada perbedaan suasana
keluarga Bu Sisri. Rumah sudah diperbaiki. Tidak lagi seperti dulu yang sering
bocor. Lantai pun sudah keramik. Halaman rumah terpagari dengan apik. Pokoknya,
menarik. Dan yang lebih penting, anak-anak tidak lagi tidur di sembarang
tempat. Karena kamar tidur mereka sudah dibangun di lantai atas.
Bu Sisri bahagia? Tentu saja. Ia sangat
bahagia, bersyukur dengan nikmat yang melimpah. Tapi, ia merasakan sesuatu yang
lain dari suaminya. Suami Bu Sisri jadi sering keluar kota. Setidaknya, itu
yang didengar Bu Sisri dari mulut suaminya ketika beberapa hari tidak pulang.
Yang tidak mengenakkan, suami Bu Sisri kerap acuh dengan suasana keluarga.
Seperti biasa, untuk menjaga syukurnya,
Bu Sisri berkunjung ke orang yang lebih tidak enak dibanding dirinya. Teman
akrab ketika di Rohis SMU dulu menjadi pilihan Bu Sisri. Beberapa tahun lalu ia
pernah dengar dari temannya yang lain kalau sahabat dekatnya ini ditinggal
suami buat selamanya. Suaminya meninggal dunia karena kecelakaan. Dan belum
satu anak pun yang mereka dapatkan. Tanpa suami, tanpa anak. “Kasihan!” ucap
batin Bu Sisri mengingat itu. Walau mesti menempuh perjalanan hampir empat jam,
Bu Sisri rela bercapek-capek demi menyegarkan rasa syukurnya itu.
Saat pertemuan itulah, Bu Sisri sempat
menitikkan air mata. Ia dengarkan semua cerita hidup sahabatnya itu. Sesekali,
tangannya sibuk menggosok tetesan air mata yang kadang membasah di sekitar mata
dan pipinya. Saat itulah, rasa syukurnya pulih. Betapa tidak enaknya hidup
tanpa suami. “Alhamdulillah, ya Allah. Saya masih punya suami,” ucap batin Bu
Sisri menyegarkan hatinya.
Panjang lebar cerita teman Bu Sisri
hingga suatu kali, “Alhamdulillah, saya sekarang sudah nikah lagi. Satu bulan
lalu.” Bu Sisri pun ikut tersenyum. “Alhamdulillah,” ucap Bu Sisri menimpali.
“Dengan siapa?” tanya Bu Sisri kemudian.
Sang teman beranjak sebentar. Ia pun
kembali dengan sebuah foto yang berbingkai antik. Di situ ada foto sang teman
dengan busana istimewa bersama suami barunya. “Suami?” suara batin Bu Sisri
terputus. Ia mulai gelisah. Wajahnya tampak berkeringat. “Namanya?” tanya Bu
Sisri agak gemetar. Dan, hampir saja Bu Sisri pingsan. Pasalnya, nama yang
disebut sang teman persis dengan nama suaminya. [Muhammad Nuh/islampos]
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Komentar