TARBIYAH (PENDIDIKAN)
BAGI YATIM..
BATASAN
YATIM MENURUT PARA ULAMA DAN
ANJURAN BERBUAT IHSAN KEPADA MEREKA
Anak yatim adalah anak-anak yang kehilangan ayahnya karena meninggal sedang mereka belum mencapai usia baligh. Batasan ini mencakup yatim yang masih ada hubungan kekerabatan dengan si pemeliharanya, ataupun dari orang lain yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Salim bin Id Al Hilali hafizhahullah ketika mengomentari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ وَأَشَارَ الرَّاوِيُ وَهُوَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
Anak yatim adalah anak-anak yang kehilangan ayahnya karena meninggal sedang mereka belum mencapai usia baligh. Batasan ini mencakup yatim yang masih ada hubungan kekerabatan dengan si pemeliharanya, ataupun dari orang lain yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Salim bin Id Al Hilali hafizhahullah ketika mengomentari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ وَأَشَارَ الرَّاوِيُ وَهُوَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
“Pemelihara anak yatim, baik dari
kerabatnya atau orang lain, aku dan dia (kedudukannya) seperti dua jari ini di
surga nanti.” Dan perawi, yaitu Malik bin Anas berisyarat dengan jari telunjuk
dan jari tengahnya”. [1]
Beliau
hafizhahullah berkata, “Makna (لَهُ أوْ لِغَيْرِهِ ) adalah kerabatnya ataupun
ajnabi (orang lain). Sedangkan (yang termasuk) kerabat di sini, ialah ibu sang
yatim, atau saudara laki-lakinya ataupun pihak-pihak selain mereka yang
memiliki kekerabatan dengannya. Wallahu a’lam.” [2]
Sebagian
fuqaha juga memasukkan dalam kategori anak yatim ini, yaitu mereka yang kehilangan
orang tuanya karena sakit dalam waktu yang sangat lama, atau karena perceraian,
safar, jihad, hilang dan sebab-sebab lainnya. Dan seorang anak yatim akan
keluar dari batasannya sebagai yatim, ketika ia telah mencapai usia baligh,
sesuai dengan hadits Nabi Shallallahju.
لاَ يُتْمَ
بَعْدَ احْتِلاَمٍ
“Tidak ada
keyatiman setelah baligh ……” [3]
Kerabat
ataupun keluarga serta pihak-pihak yang memiliki hubungan dengannya lebih
berhak untuk berbuat baik kepada si yatim, memenuhi kebutuhannya, mendidik
serta mengarahkannya, mengasihi, mengayomi, menyayanginya serta mengasuhnya
hingga ia tumbuh menjadi pribadi yang baik dan matang, serta siap menghadapi
hidup ketika ia telah dewasa. Meski demikian, syari’at Islam yang sempurna,
tidak hanya membatasi kewajiban berbuat ihsan kepada anak yatim hanya pada
kerabatnya saja, namun kewajiban ini juga berlaku umum bagi setiap kaum
muslimin sesuai dengan kadar kemampuan mereka.
Banyak
nash-nash syar’i yang menegaskan keutamaan menyantuni anak yatim dan
menjanjikan balasan yang agung bagi para pemelihara anak yatim. Di antaranya
ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَيَسْئَلُونَكَ
عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحُُ لَّهُمْ خَيْرُُ وَإِن تُخَالِطُوهُمْ
فَإِخْوَانُكُمْ
“Dan
mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah:”Mengurusi urusan
mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka
adalah saudaramu”. [al Baqarah : 220].
Dalam
menafsirkan ayat di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah
berkata: Ketika turun ayat
إِنَّ
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرً
“Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala”. [an Nisa’: 10].
Ayat
tersebut terasa berat bagi para sahabat. (Sehingga para sahabat) segera
memisahkan makanan mereka dari makanan anak yatim, karena khawatir akan memakan
harta mereka, meskipun sebelumnya mereka terbiasa menggabungkan harta mereka
dengan harta anak yatim (yang berada dalam kepengasuhannya, Pen).
Mereka
kemudian bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu,
maka Allah memberi khabar kepada mereka, bahwa maksud (ayat tersebut) adalah
berbuat ishlah dalam masalah harta anak yatim, dengan cara menjaga harta
tersebut dan mengembangkannya dalam perdagangan. Dan menggabungkan harta mereka
dengan harta anak yatim dalam masalah makanan ataupun selain itu, hukumnya
boleh, asalkan tidak merugikan sang yatim. Kerena mereka itu adalah saudara
kalian juga. Dan (sudah menjadi keumuman), jika saudara bergaul dan berbaur
dengan saudaranya sendiri. Parameter dalam hal ini adalah niat serta amal (sang
pengasuh yatim). Allah Maha mengetahui siapa yang berniat untuk berbuat baik
kepada anak yatim dan dia tidak memiliki keinginan untuk mendapatkan harta
yatim tersebut. Jika ada yang termakan olehnya tanpa ada maksud demikian, maka
ia tidak berdosa.
Allah
Maha mengetahui pula siapa yang berniat buruk dalam penggabungan harta
tersebut, yakni ia ingin mendapatkannya kemudian ia memakannya. Demikian inilah
yang berdosa. Karena washilah (sarana) memiliki hukum yang sama dengan maksud
(tujuannya). [4]
Dalam
satu haditsnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أنا
وَ كَافِلُ اليَتِيْمِ في الجَنَّةِ هكَذَا وَ أشَارَ بَالسَبَابَةِ وَ الوُسْطَى
وَ فَرَّجَ بَيْنَهُمَا
“Aku
dan pemelihara anak yatim di surga nanti, kedudukannya seperti (dua jari )
ini,” dan Beliau memberikan isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dan
memisahkan keduanya”. [5]
Dalam
hadits tersebut, Rasulullah memberikan permisalan yang sangat gamblang tentang
luhurnya kedudukan pemelihara anak yatim. Bahwa di surga nanti mereka memiliki
kedudukan yang sangat dekat dengan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
METODE
DAN SARANA TARBIYYAH BAGI ANAK YATIM
Anak-anak yatim memerlukan pendidikan dan tarbiyyah yang lebih spesifik dibanding anak-anak lainnya. Hal ini mengingat kondisi mereka yang kehilangan unsur-unsur esensial yang mereka butuhkan dalam hidup.
Anak-anak yatim memerlukan pendidikan dan tarbiyyah yang lebih spesifik dibanding anak-anak lainnya. Hal ini mengingat kondisi mereka yang kehilangan unsur-unsur esensial yang mereka butuhkan dalam hidup.
Diantaranya
ialah kasih sayang orang tua. Oleh karena itu, hal pertama yang mereka butuhkan
ialah kepuasan terhadap rasa kasih sayang, terpenuhinya perasaan aman, serta
kehadiran sosok pengasuh pengganti orang tuanya yang mampu memberikan
pengarahan dan bimbingan untuknya, memenuhi segala kebutuhan jasmani dan
rohaninya. Mereka juga membutuhkan dorongan motivasi untuk ikut berkembang
dalam lingkungan masyarakat sebagaimana umumnya anak-anak yang lain. Para yatim
adalah anak-anak yang kehilangan unsur- unsur kekuatan hidup mereka. Mereka
kehilangan muara kasih sayang hakiki dengan meninggalnya orang tua.
Untuk
itu, Islam mendorong setiap muslim untuk memenuhi kebutuhan anak-anak yatim dan
menjanjikan pahala yang agung bagi siapa saja yang berbuat baik kepada mereka.
Kondisi
anak-anak yatim pun berbeda antara satu dengan lainnya. Di antara mereka ada
yang kehilangan salah satu saja dari orang tuanya, yakni ibu atau bapaknya.
Dalam kondisi semacam ini, biasanya mereka lebih mudah diarahkan dalam
lingkungan yang baru, yaitu ketika orang tuanya (ibu atau bapaknya) yang masih
hidup telah menikah lagi, kemudian ia memiliki saudara-saudara baru yang
nantinya akan ikut berkembang bersama dengannya, dengan syarat orang tuanya
tersebut menikah dengan duda atau janda yang telah memiliki anak-anak juga.
Dengan mencurahkan segenap kesungguhan untuk memelihara mereka, insya Allah
anak-anak yatim tersebut akan tumbuh dan berkembang tanpa adanya permasalahan
psikis yang cukup serius. Tentunya, hal ini terkait juga dengan din kedua orang
tuanya. Artinya selama kedua orang tuanya itu konsisten dengan ajaran-ajaran
Islam, dan mereka meluruskan niat dalam mengasuh anak-anak mereka, niscaya
anak-anak mereka akan tumbuh normal sebagaimana layaknya anak-anak yang lain,
dengan taufik dari Allah. Jika tidak, tentunya usaha untuk mengarahkan anak
yatim tersebut menjadi anak yang baik akan menemui banyak kendala, karena din
adalah muara kebaikan bagi segala urusan hidup manusia.
Di
antara mereka juga ada yang kehilangan ayahnya, sedangkan mereka memiliki kakak
laki-laki yang mampu mengasuh dan mendidik mereka. Dalam keadaan seperti ini,
sang kakak menggantikan posisi ayahnya, dengan syarat ia memiliki kepribadian
kuat serta teguh pendirian; karena mengasuh anak-anak yatim bukanlah suatu
pekerjaan ringan, dan tanggung jawabnya teramat besar. Bagi ibu dari anak-anak
yatim tersebut, semestinya memberikan penghormatan kepada sang kakak,
bahu-membahu bersamanya dalam mendidik anak-anaknya, serta mempercayakan
kepemimpinan keluarga kepada sang kakak secara kongkrit. Hal yang demikian ini,
memberikan efek kepada adik-adiknya yang yatim untuk tunduk terhadap perintah
sang kakak, dan secara bersamaan juga kepekaan dan tanggung jawab sang kakak
sebagai pengganti ayah akan tebentuk, sehingga ia terbiasa dan lebih memiliki
kepercayaan diri untuk mengasuh dan mendidik adik-adiknya. Seorang ibu,
meskipun ia memiliki kekuasaan untuk memerintah anak-anaknya, namun jika
anak-anaknya itu telah menginjak masa dewasa, mereka tetap membutuhkan sosok
pembimbing lain selain ibu, yakni sosok pemimpin laki-laki yang mampu
mengarahkan mereka yang tidak lain adalah kakaknya tadi.
Diantara
mereka ada pula yatim yang kehilangan salah satu dari orang tuanya karena
perceraian, atau pun kepergian orang tua yang sangat lama, atau karena orang
tuanya sakit, kemudian sang ibu tidak menikah lagi dan memilih tinggal bersama
keluarganya sedangkan ia memiliki beberapa anak. Dalam kondisi seperti ini,
sang yatim membutuhkan sosok pendidik lain, yaitu semisal kakek atau pamannya.
Dan selayaknya, bagi ibu untuk memberikan kepercayaan kepada kakek atau paman
dalam perkara-perkara penting, jika anak-anaknya telah tumbuh besar dan mereka
tidak sepenuhnya lagi berada dalam kekuasaan sang ibu. Pengarahan kakek atau
paman sangat berpengaruh bagi mereka, karena laki-laki pada umumnya lebih tegas
dan berakal panjang dibandingkan wanita.
Berikut
ini kami paparkan beberapa point yang memuat metode tarbiyyah bagi anak yatim.
Di antaranya ialah sebagai berikut :
1.
Hendaknya sosok pendidik pengganti orang tua yang meninggal itu memiliki
kemampuan untuk mengarahkan anak yatim, mampu mengemban tanggung jawab
pendidikan mereka dan memahami dengan baik dan sempurna tentang problematika
anak yatim serta hukum-hukumnya. Juga mampu memenuhi kebutuhan mereka akan
kasih sayang dan cinta kasih, dan tidak membedakan anak-anak yatim itu antara
yang satu dengan lainnya.
2.
Adanya tekad yang kuat dan niat yang lurus dari pemelihara yatim tersebut untuk
mendidik mereka, karena banyak pemelihara yatim yang meremehkan masalah ini
serta menzhalimi hak mereka. Sewajibnya bagi pemelihara anak yatim untuk
memperlakukan mereka sebagaimana layaknya mereka memperlakukan anak-anak mereka
sendiri.
3.
Memberikan waktu luang dan kesempatan yang cukup bagi sang yatim untuk bergaul
dengan anak-anak lainnya. Sebisa mungkin dihindari hal-hal yang bisa
menimbulkan kegoncangan jiwa bagi mereka, serta menjauhi sikap memata-matai
mereka dalam setiap urusan, agar mereka merasa diberi kepercayaan untuk
mengurusi urusannya sendiri. Dengan demikian, akal dan dan fungsi sosialnya
akan berkembang. Sedangkan kewajiban ibu adalah memberikan pemahaman tentang
tanggung jawab hidup kepada anak ketika mereka menginjak usia dewasa, fahamkan
bahwa mereka adalah generasi harapan ibunya. Dengan cara ini, ibu turut
membantu anak untuk mencapai kematangan dan kedewasaan dalam bertindak, serta
kemapanan dalam berpikir untuk menghadapi hidup.
4.
Dalam kondisi perceraian, hendaklah kedua orang tua bertindak dengan penuh
bijaksana dan sarat dengan kematangan jiwa, hingga anak dapat tumbuh lurus
tanpa adanya tekanan ataupun gangguan psikhis lainnya. Selayaknya mereka saling
memberikan dan menunjukkan pengormatan kepada mantan pasangan, menghindari
sejauh-jauhnya saling cela dan tuduh satu dengan lainnya serta tidak
membeberkan seluruh konflik yang terjadi di antara mereka berdua kepada sang
anak. Dengan cara seperti ini, kebutuhan anak akan kebahagiaan yang berhak ia
dapatkan dari kedua orang tuanya akan senantiasa tercukupi, serta hak kedua
orang tua untuk mengasuh dan mendidik anak mereka tetap terjaga, karena sikap
mulia dan perwira dari kedua orang tuanya yang saling menghormati satu dengan
lainnya meski dalam kondisi perceraian, akan terekam kuat dalam memori sang
anak. Sang anak akan tetap menghormati kedua orang tuanya, karena hal itu ia
lihat dari sikap kedua orang tuanya dalam wujud nyata. Dan sebaliknya, jika
kedua orang tua saling cela dan menyalahkan satu sama lainya, saling
membeberkan kejelekan pasangannya di hadapan sang anak, hal ini akan merusak
kepercayaan dan penghormatan sang anak kepada kedua orang tuanya sekaligus,
sehingga ia tidak lagi mau menghormati kedua orang tuanya serta sulit untuk
menerima arahan dan bimbingan dari keduanya.
ANCAMAN
BAGI PEMAKAN HARTA ANAK YATIM DENGAN ZHALIM
Para yatim adalah golongan dhu’afa (kaum lemah) yang sangat membutuhkan tangan-tangan penuh kasih, yang mau mengayomi mereka, membimbing dan menjaga mereka dari ketergelinciran yang akan mencelakakan hidup mereka. Maka selayaknya bagi setiap wali dan pihak-pihak yang diberi amanah mengurusi mereka untuk selalu mengontrol hati mereka, senantiasa meluruskan niat demi meraih keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, serta menjauhi sikap mengkhianati amanah, berbuat zhalim dan semena-mena terhadap anak yatim.
Para yatim adalah golongan dhu’afa (kaum lemah) yang sangat membutuhkan tangan-tangan penuh kasih, yang mau mengayomi mereka, membimbing dan menjaga mereka dari ketergelinciran yang akan mencelakakan hidup mereka. Maka selayaknya bagi setiap wali dan pihak-pihak yang diberi amanah mengurusi mereka untuk selalu mengontrol hati mereka, senantiasa meluruskan niat demi meraih keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, serta menjauhi sikap mengkhianati amanah, berbuat zhalim dan semena-mena terhadap anak yatim.
Berbuat
zhalim kepada mereka merupakan dosa besar yang diancam dengan siksa neraka.
Adzab memakan harta anak yatim secara zhalim terkadang langsung Allah berikan
di dunia. Mungkin para yatim yang lemah itu, tidak bisa membalas kezhaliman
yang mereka terima, tidak bisa menuntut haknya yang dirampas secara
semena-mena. Namun janganlah kita lupa, Allah-lah yang menjadi penolong mereka.
Hendaklah kita takut terhadap adzab Allah yang mungkin datang secara tiba-tiba
dan kita ditimpa su’ul khatimah disebabkan kezhaliman kita, wal’iyadzubillah.
Telah
banyak nash-nash syar’i yang menjelaskan keharaman memakan harta anak yatim
secara zhalim. Seluruh nash-nash tersebut datang dengan shighat tahrim (konteks
pengharaman atau larangan) yang sangat tegas. Di antara nash-nash tersebut
adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat An Nisa’ di atas:
إِنَّ
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرً
“Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala”. [an Nisa’: 10]
Tentang
tafsir ayat di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata, ”Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
(إِنَّ
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا)
“Yaitu
mengambil harta mereka dengan cara yang tidak benar. Batasan ini, (yaitu secara
zhalim) mengeluarkan masalah sebelumnya, yaitu bolehnya memakan harta anak
yatim bagi (pemelihara mereka ) yang faqir dengan cara yang ma’ruf, serta
bolehnya mencampurkan makanan mereka dengan makanan para yatim”.
Barangsiapa
yang memakannya secara zhalim, maka (sebenarnya mereka menelan api sepenuh
perutnya), yaitu sesungguhnya yang mereka makan hakikatnya adalah api neraka
yang menyala-nyala di dalam perut mereka, dan mereka sendiri yang memasukkan
api tersebut ke dalam perutnya. وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرً (dan mereka akan masuk
ke dalam api yang menyala-nyala), yaitu api yang membakar dan menyala-nyala.
Ini merupakan ancaman yang sangat berat bagi dosa-dosa, yang menunjukkan
keburukan memakan harta anak yatim, dan ia menjadi penyebab masuk neraka. Hal
itu menunjukkan jika perbuatan itu termasuk salah satu dari dosa-dosa besar.
Kita memohon keselamatan kepada Allah.” [6]
Kemudian
firmanNya dalam surat Al Ma’un:
أَرَءَيْتَ
الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ
“Tahukah
kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim” .
[al Ma'un : 1-2]
Imam
Al Mufassir Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “Allah Ta’ala
berfirman: Apakah engkau tahu wahai Muhammad, (siapakah) yang mendustakan din?
(Din) adalah (hari) kembalinya manusia, balasan serta pahala, فَذَلِكَ الَّذِي
يَدُعُّ الْيَتِيمَ (yaitu orang-orang yang menguasai anak yatim), menzhalimi
haknya, tidak memberinya makan dan tidak berbuat baik kepadanya” [7]
Dalam
ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan kepada kaum mu’minin,
berbuat zhalim kepada anak yatim merupakan sifat orang-orang yang mendustakan
agama. Mereka akan dibalas atas kezhaliman tersebut dengan siksa yang amat
keras. Wal’iyadzu billah.
Dari
sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Beliau bersabda:
اجْتَنِبُوا
السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوْا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ
الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ
إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي
يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصِنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ
“Jauhilah
oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan.” Para sahabat bertanya,”Wahai,
Rasulullah! Apakah perkara-perkara itu?” Beliau menjawab,”Berbuat syirik kepada
Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang
benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, serta
menuduh wanita merdeka yang menjaga diri lagi beriman dan tidak berbuat
kekejian”. [8]
Dalam
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, dengan jelas tersurat bahwa
memakan harta anak yatim termasuk dari tujuh perkara yang membinasakan. Konteks
larangan tersebut datang dengan lafazh ( اجْتَنِبُوا ). Hal ini menunjukkan
keharaman yang lebih tegas daripada sekedar lafazh nahyi (larangan) [9].
Wallahu a’lam.
Demikian
sedikit pembahasan berkenaan dengan anak yatim. Semoga Allah Subhanahu wa
Ta’ala menjadikan kita termasuk ke dalam golongan hambaNya yang menunaikan
amanah. Wallahu waliyyu at taufiiq. (Ummu Abdillah).
Maraji:
- Tafsir Al Qur’anul Azhim, Ibnu Katsir, Jilid I, II dan V, Dar At Thayyibah, Cet. I, Th. 1422H.
- Taisir Karimir Rahman Fi Tafsiri Kalamil Mannan, Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Jilid I dan II, Dar As Salam, Cet. I, Th. 1422H.
- Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadhis Shalihin, Salim bin Id Al Hilali, Jilid I dan II, Dar Ibnu Jauzi, Cet. VI, Th. 1422H.
- Kaifa Turabbi Waladaka?, Laila Abdurrahman, Kementrian Agama Islam dan Waqaf dan Dakwah dan Bimbingan Islam, KSA, Cet. III, Th. 1424H.
- Tafsir Al Qur’anul Azhim, Ibnu Katsir, Jilid I, II dan V, Dar At Thayyibah, Cet. I, Th. 1422H.
- Taisir Karimir Rahman Fi Tafsiri Kalamil Mannan, Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Jilid I dan II, Dar As Salam, Cet. I, Th. 1422H.
- Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadhis Shalihin, Salim bin Id Al Hilali, Jilid I dan II, Dar Ibnu Jauzi, Cet. VI, Th. 1422H.
- Kaifa Turabbi Waladaka?, Laila Abdurrahman, Kementrian Agama Islam dan Waqaf dan Dakwah dan Bimbingan Islam, KSA, Cet. III, Th. 1424H.
[Disalin dari majalah As-Sunnah
Edisi 10/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. HR Muslim, no. 2.983.” Lihat Bahjatun Nazhirin (I/ 350).
[2]. Bahjatun Nazhirin (I/350).
[3]. Sunan Abu Dawud, no. 2.873. Lihat Tafsir Ibni Katsir (II/ 215), tafsir ayat ke 6 dari surat An Nisa’.
[4]. Taisir Karimir Rahman (I/ 211).
[5]. HR Bukhari (9/ 439-Fathu Al Bari).” Lihat Bahjatun Nazhirin (I/ 350).
[6]. Taisir Karimir Rahman (I/384-385).
[7]. Tafsir Al Qur’an Al Azhim (8/493).
[8]. HR Bukhari (5/393-Al Fath) dan Muslim (89).”
[9]. Lihat perkataan Syaikh Salim bin Id Al Hilai dalam Bahjatun Nazhirin (III/ 126).
_________
Footnotes
[1]. HR Muslim, no. 2.983.” Lihat Bahjatun Nazhirin (I/ 350).
[2]. Bahjatun Nazhirin (I/350).
[3]. Sunan Abu Dawud, no. 2.873. Lihat Tafsir Ibni Katsir (II/ 215), tafsir ayat ke 6 dari surat An Nisa’.
[4]. Taisir Karimir Rahman (I/ 211).
[5]. HR Bukhari (9/ 439-Fathu Al Bari).” Lihat Bahjatun Nazhirin (I/ 350).
[6]. Taisir Karimir Rahman (I/384-385).
[7]. Tafsir Al Qur’an Al Azhim (8/493).
[8]. HR Bukhari (5/393-Al Fath) dan Muslim (89).”
[9]. Lihat perkataan Syaikh Salim bin Id Al Hilai dalam Bahjatun Nazhirin (III/ 126).
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Komentar