Pembinaan Anak Yatim Menurut Alquran
(Dikutip dari Zainal Abidin)
PENDAHULUAN
Ringkasnya,
Alquran memberikan petunjuk pada persoalan-persoalan akidah, syariah dan
akhlak.[2] Petunjuk
inilah yang menjadikan agama Islam sebgai agama terbaik dan satu-satunya
risalah umat yang abadi.
Salah
satu tema pokok yang menjadi bahasan utama Alquran adalah permasalahan anak yatim.
Dalam Alquran ada 22 ayat yang berkenaan dengan anak yatim, yaitu surah al-An’âm [6] ayat 152, al-Isrâ [17] ayat 34,al-Fajr [89] ayat 17, al-Dhuhâ [93] ayat 6 dan 9, al-Ma’ûn [107] ayat 2, al-Insân [76] ayat 8, al-Balad [90] ayat 15, al-Kahfi [18] ayat 82, al-Baqarah[2] ayat 83, 177,
215, dan 220, al-Nisâ [4] ayat 2, 3, 6, 8, 10, 36, dan 127, al-Anfâl [8] ayat 41, dan al-Hasyr [59] ayat 7.[3]
Pemeliharaan serta pembinaan anak yatim dalam Islam tidak
terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik saja, tetapi secara umum juga
meliputi hal-hal yang bersifat psikis. Karena itu, dalam pembahasan selanjutnya
akan diuraikan lebih mendalam mengenai segala hal yang berkenaan dengan anak
yatim dalam Alquran.
Kata “anak yatim” merupakan
gabungan dari dua kata, yaitu “anak” dan “yatim”. Istilah “anak” dalam bahasa
Arab disebut waladun dan jamaknya aulâdun yang berasal dari akar kata walada – yalidu – wilâdatan -
maulidan.[4] Dalam
bahasa Indonesia, anak berarti keturunan.[5]
Secara etimologis, kata “yatim”
merupakan kata serapan dari bahasa Arab yutma
– yatama – yatma yang berarti infirâd (kesendirian).[6] Yatîmmerupakan isim fâ’il (menunjukkan pelaku) jamaknya yatâmâ atau aitâm.[7]Anak yatim berarti anak di bawah umur yang
kehilangan ayah yang bertanggung jawab dalam perbelanjaan dan pendidikannya,[8] belum
baligh (dewasa), baik ia kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan.[9]
Ahmad Mushthofâ al-Marâghiy dalam
tafsirnya menyebutkan pengertian yatim, yakni seseorang yang ditinggal mati
ayahnya secara mutlak (baik selagi masih kecil atau setelah dewasa). Tetapi –
lanjutnya – menurut tradisi adalah khusus untuk orang yang belum mencapai usia
dewasa.[10]
Adapun anak yang bapak dan ibunya
telah meninggal termasuk juga dalam kategori yatim dan biasanya disebut yatim
piatu. Istilah yatim piatu ini
hanya dikenal di Indonesia ,
sedangkan dalam literatur fiqh klasik hanya dikenal istilah yatim saja.[11] Santunan
terhadap anak yatim piatu ini lebih diutamakan daripada anak yatim, yang dalam
kajian ushûl al-fiqh disebutmafhûm al-muwâfaqah fahwa
al-khitâb (pemahaman yang
sejalan dengan yang disebut, tetapi yang tidak disebut lebih utama). Hal ini
disebabkan anak yatim piatu lebih memerlukan santunan daripada anak yatim.[12]
Dari beberapa definisi di atas,
dapat diambil suatu pemahaman bahwa yang dimaksud dengan anak yatim adalah anak
kecil yang belum dewasa yang ditinggal mati ayahnya, sementara ia masih belum
mampu mewujudkan kemashlahatan yang akan menjamin masa depannya.[13]
B. HAK-HAK ANAK YATIM
Anak-anak – baik yang masih memiliki orang tua yang
lengkap maupun yatim – adalah manusia masa depan yang dilahirkan oleh setiap
ibu , yang “hitam putihnya” juga tidak terlepas dari pengaruh orang lain di
lingkungan sekitarnya, terutama orang tua – bagi anak yang masih memiliki orang
tua – maupun keluarga dan kerabat dekat.[14] Karena itu, anak yatim juga memiliki
hak yang sama dengan anak-anak lain seusianya. Mereka adalah “rijâl
al-mustaqbal” yaitu generasi masa depan yang berkualitas. Hari depan umat
dan bangsa kita semuanya tergantung pada mereka. Karenanya, untuk membentuk
dirinya menjadi manusia yang tangguh dalam menghadapi tantangan persaingan pada
era globalisasi serta arus informasi dan komunikasi yang akan datang, hak-hak
mereka harus dipenuhi secara bertahap.
Berbicara mengenai hak-hak anak dalam Islam, pertama kali
secara umum dibicarakan dalam apa yang disebut sebagai dharûriyyât khams (lima kebutuhan
pokok). Lima hal yang perlu
dipelihara sebagai hak setiap orang meliputi:
1. Pemeliharaan hak beragama (hifzh al-dîn);
2. Pemeliharaan Jiwa (hifzh al-nafs);
3. Pemeliharaan akal (hifzh al-‘aql);
4. Pemeliharaan harta (hifzh al-mâl);
5. Pemeliharaan keturunan/ nasab (hifzh al-nasl) dan
kehormatan (hifzh ‘ird).[15]
Sejak seorang anak lahir ke dunia, ia sudah memiliki hak
asasi, yakni hak untuk memperoleh kasih sayang, kesehatan, pendidikan, serta
bimbingan moral dari orang tuanya. Allah swt menyatakan hal ini dalam
firman-Nya:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya
selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaran karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian…” (Q. s., al-Baqarah [2]:
233)
Hak anak yang juga harus diperhatikan adalah tentang
perawatan dirinya yang tentunya tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan akan
sandang dan pangan saja, tetapi juga harus memenuhi kebutuhan hidup lainnya,
seperti kebutuhan akan tempat tinggal, obat-obatan, kesehatan, hiburan dan
lain-lain. Kebutuhan jasmani harus dipenuhi, demikian juga kebutuhan rohani,
sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang, baik fisik maupun mentalnya.[17] Dalam hal ini, anak yatim yang telah
kehilangan ayah yang bertanggung jawab atas dirinya, sehingga menjadi tanggung
jawab seluruh umat Islam dan yang menjadi pengasuhnya.
Hak anak untuk mendapatkan pendidikan juga merupakan hal
yang amat penting dalam Islam, terutama bagi anak yatim. Mendidik anak yatim
dengan baik adalah membimbing dan mengarahkan mereka kepada hal-hal yang baik
lagi bermanfaat, dan memelihara serta memperingatkan mereka agar tidak
terjerumus kepada hal-hal yang merusak.[18]
Pendidikan moral dan agama anak yatim ini termasuk
perkara yang wajib mendapatkan perhatian khusus dari para pemikir dan ulil amri di dalam umat. Diharapkan mereka tidak
menjadi unsur perusak atau akar kesengsaraan dalam umat dengan menularkan
benih-benih kerusakan akhlak mereka dalam pergaulan dengan umat lainnya.[19]
Selain hak atas pendidikan dan perawatan diri, anak juga
mempunyai hak atas harta yang ditinggal orang tuanya, yang disebut harta
warisan.[20]Pada
zaman jahiliah, anak yatim diperlakukan seperti budak. Mereka tidak memiliki
hak apapun; tidak mendapatkan perlindungan dan tidak mendapatkan warisan. Namun
ketika Islam datang, agama ini memberikan peraturan yang protektif terhadap
masa depan anak yatim. Jika seorang anak ditinggal mati oleh orang tuanya, maka
kaum kerabatnyalah yang mengurus hidupnya. Namun jika mereka tidak memiliki
sanak famili, maka pemerintah dan umat Islamlah yang mengambil alih tugas ini.
Mereka tidak hanya bertanggung jawab untuk merawatnya, namun juga mengurus
hartanya. Kelak jika sang anak yatim telah dewasa, maka hartanya itu diserahkan
sepenuhnya kepadanya. Dalam hal ini, si pengasuhnya itu tidak boleh memakan
sedikitpun dari harta si anak yatim secara zalim.[21]
Dari beberapa uraian di atas, jelas diketahui bahwa
problematika yang dihadapi anak yatim dalam masa kekinian amatlah kompleks dan
memerlukan perhatian yang amat khusus. Dalam hal ini, agama Islam – dengan
sumber utama pada ajaran Alquran – mengatur sedemikian rupa seluk beluk
pemeliharaan anak yatim. Bentuk pemeliharaan akan dijabarkan dalam beberapa
poin sebagai berikut:
1. Perawatan Diri Anak Yatim
Alquran memberikan perhatian yang amat besar pada anak
yatim. Alquran memberikan tuntunan dengan menunjukkan jalan yang dapat ditempuh
oleh seorang Muslim dalam memelihara anak yatim. Hal ini tidak lain agar
seorang Muslim tidak terjebak dalam tata cara pengasuhan yang salah dan dapat
menelantarkan si anak yatim, bahkan mungkin dirinya sendiri.
Salah satu cara agar tidak menelantarkan anak yatim yaitu
dengan cara mengasuh mereka sesuai dengan tuntunan Alquran. Ayat-ayat yang
memberikan informasi tentang perawatan diri anak yatim antara lain:
a. Surah Al-Baqarah [2] ayat 220
“Dan mereka
bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakanlah: “Mengurus urusan mereka
secara patut adalah hal yang baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka
mereka adalah saudaramu; dan Allah menegetahui siapa yang membuat kerusakan
dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat
mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (Q. s., Al-Baqarah [2]: 220)
Sehubungan dengan ayat di atas, Ahmad Mushthofâ
al-Marâghiy menjelaskan bahwa perlakuan yang baik terhadap anak yatim adalah
semua hal yang dapat mendatangkan kemaslahatan untuk mereka, karena sebenarnya,
bergaul dengan mereka dalam segala kegiatan, baik itu makan, minum maupun dalam
hal usaha sama sekali tidak mendatangkan dosa. Anak yatim juga adalah saudara
seagama. Makna persaudaraan dalam konteks ini adalah bergabung dalam masalah
hak milik dan kehidupan. Artinya, persoalan makanan tak perlu dipermasalahkan.
Hanya saja, pergaulan dengan mereka harus dilandasi dengan sikap saling
memaafkan tanpa adanya keinginan untuk saling menguasai.[23]
Dalam ayat ini pula, Allah memperingatkan kepada manusia,
bahwa Ia mengetahui segala apa yang ada dalam hati mereka, dengan maksud agar
mereka selalu mawas diri dalam merawat anak yatim. Tak jarang, ketamakan
membuat seseorang menjadi buta hati sehingga membuatnya ingin menguasai harta
anak yatim dengan mengabaikan perawatan diri mereka, baik itu dalam hal
makanan, minuman, dan segala hal lain, yang pada akhirnya justru akan merugikan
anak yatim dan dirinya sendiri.[24]
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud
dengan merawat anak yatim dengan baik adalah memperlakukan mereka sebagaimana
memperlakukan seorang anggota keluarga, tidak membedakan mereka dalam hal
makanan, minuman, pakaian, sehingga anak yatim tidak merasa hina dan susah.
Dengan bersikap lemah lembut dan kasih sayang terhadap mereka, mereka akan
merasakan sebagaimana kasih sayang kedua orang tua mereka dan akan mendatangkan
pahala yang berlipat ganda dari Allah swt bagi seorang Muslim yang mampu
melaksanakan kewajiban tersebut. Dalam hal ini, Rasulullah saw bersabda:
“Apakah kamu
suka jika hatimu menjadi lembut serta terpenuhi segala keinginanmu? Sayangilah
anak yatim, usaplah kepala mereka, serta beri makananlah mereka dari makananmu, niscaya hatimu
akan lembut dan terpenuhi segala keinginanmu.” (H.R. al-Thabraniy dari Abu
Darda)[25]
b. Surah Al-Nisa [4] ayat 5
“Dan janganlah
kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya (anak-anak yatim)
harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok
kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah pada mereka kata-kata yang baik.” (Q. s., Al-Nisâ [4]: 5)
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa dalam
perawatan diri anak-anak yatim, mereka harus diberi makanan, pakaian serta
jaminan tempat tinggal dan berbagai keperluan lainnya, yang kesemuanya diambil
dari harta mereka sendiri. Ayat di atas ditujukan pada anak yatim yang memiliki
harta warisan. Sementara ayat sebelumnya (al-Baqarah ayat 220), dijelaskan
bahwa segala keperluan anak yatim ditanggung oleh si wali, dalam artian si anak
yatim adalah orang miskin.
Dalam ajaran Islam, pemeliharaan seorang anak tidaklah
cukup hanya dengan nafkah lahirnya saja tanpa memperhatikan aspek pendidikan
dan moralitas sang anak. Terlebih bagi anak yatim yang tidak memiliki orang tua
lagi.
Alquran memberikan informasi mengenai pendidikan anak
yatim antara lain:
“Dan (ingatlah),
ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil, yaitu: Janganlah kamu menyembah
selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak
yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada
manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi
janji itu, kecuali sebagian kecil dari kamu, dan kamu selalu berpaling.” (Q.
s., al-Baqarah [2]: 83)
“Rumah yang
paling disukai oleh Allah adalah rumah yang di dalamnya ada anak yatim yang
dimuliakan.” (H.R. Baihaqi dari Umar)[28]
Karenanya, kita harus menyadari bahwa anak yatim juga
merupakan saudara kita. Kita patut bersyukur jika kita masih memiliki orang tua
lengkap yang dapat mendidik kita dan membiayai pendidikan kita. Dan manifestasi
dari syukur itu adalah dengan memperhatikan dan berbelas kasih pada anak yatim
serta memperhatikan segala keperluan mereka agar mereka tidak merasa
ditelantarkan.[30]
Harta anak yatim adalah harta benda seorang anak yang
telah ditinggal mati oleh ayahnya. Harta semacam ini tidak diperbolehkan agama
untuk mengambilnya, walaupun si anak belum mengerti. Karena itu, selama anak
tersebut belum dewasa, maka hartanya menjadi tanggung jawab kita sebagai orang
Islam untuk menjaga dan memeliharanya.[31]
Dalam suatu riwayat, diceritakan bahwa pada suatu hari
datang seorang sahabat dan bertanya pada Rasulullah saw: “Ya Rasulullah, aku
ini orang miskin, tapi aku memelihara naka yatim dan hartanya, bolehkah aku
makan dari harta anak yatim ini?” Rasulullah saw menjawab: “Makanlah dari harta
anak yatim sekedar kewajaran, jangan berlebih-lebihan, jangan memubazirkan,
jangan hartamu dicampur dengan harta anak yatim itu.” (H.R. Abu Dawud,
al-Nasai, Ahmad dan Ibnu Majjah dari Abdullah bin Umar bin Khattab). Hadis ini
menjelaskan bahwa memakan harta anak yatim diperbolehkan jika si pemelihara itu
tidak mampu atau miskin. Apa yang dimakannya hanya sekedar upah lelah mengelola
kepemilikan anak yatim itu.[32]
Alquran memberikan informasi yang
lugas mengenai harta anak yatim, diantaranya:
a.
Surah al-Nisâ [4]
ayat 2:
وَآتُوْا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلاَ تَتَبَدَّلُوْا
الْخَبِيْثَ بِالطَّيِّبِ وَلاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أمْوَالِكُمْ
إِنَّهُ كَانَ حُوْبًا كَبِيْرًا . (النساء [4]: 2)
“Dan berikanlah
kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, dan jangan kamu
menukar yang baik dengan yang buruk, dan jangan kamu makan harta mereka bersama
hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa
yang besar.” (Q. s., al-Nisâ [4]: 2)
Dalam
ayat di atas, juga dijelaskan larangan untuk mengganti harta halal, yaitu harta
yang dihasilkan dengan jerih payah sendiri berkat kemurahan Allah, dengan harta
yang haram, yaitu harta anak yatim yang dititipkan kepadanya.[33]
Dalam
ayat diatas juga disebutkan istilah “memakan”. Yang dimaksud dengan istilah
“memakan” ialah semua penggunaaan yang menghabiskan harta. Dan disini hanya
disebutkan istilah memakan, karena sebagian besar penggunaan harta benda itu
untuk tujuan makan.[34] Dengan demikian, yang dimaksud dengan
larangan makan harta anak yatim adalah larangan untuk menghabiskan harta demi
kepentingan pribadi.
b. Surah al-Nisâ [4] ayat 6:
وَابْتَلُوْا
الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوْا النِّكَاحِ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا
فَادْفَعُوْا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلاَ تَأْكُلُوْهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا
أَنْ يَكْبَرُوْا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا
فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
فَأَشْهِدُوْا عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللهِ حَسِيْبًا .
(النساء [4]: 6)
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka
cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas
(pandai memelihara harta), maka serahkanlah pada mereka harta-hartanya. Dan
janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah
kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa
(diantara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan
harta anak yatim itu) dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan
harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada
mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi
mereka. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas (atas kesaksian itu).” (Q. s.,
al-Nisâ [4]: 6)
c. Surah
al-An’âm [6] ayat 152
وَلاَ
تَقْرَبُوْا مَالَ الْيَتِيْمِ إِلاَّ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ
أَشُدَّهُ...(الأنعام [6]: 152)
“Dan janganlah kamu dekati harta
anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa…”
(Q. s., al-An’âm [6]: 152)
Menurut al-Marâghiy, ayat di atas
adalah merupakan larangan untuk mendekati harta anak yatim apabila berurusan
atau bermuamalat dengannya, sekalipun dengan perantaraan wali ataupun wasiat,
kecuali dengan perlakuan yang sebaik-baiknya dalam rangka memelihara
kemaslahatan si anak yatim, baik itu untuk kepentingan pendidikan maupun
pengajarannya.[36]
Dengan demikian, maksud ayat di
atas adalah hendaknya harta anak yatim itu dipelihara dan janganlah mengizinkan
si anak yatim itu menghambur-hamburkan hartanya, atau berlebih-lebihan dalam
menggunakan hartanya, hingga ia dewasa. Apabila ia telah mencapai kedewasaan,
maka hendaklah harta yang telah dititipkan itu diserahkan kembali kepada anak
yatim tersebut.[37]
“Sesungguhnya orang-orang yang
memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh
perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (Q.
s., al-Nisâ [4]: 10)
Sedang menurut Sayyid Quthb, ayat
ini menggambarkan perumpamaan orang yang memakan harta anak yatim dengan zhalim
itu dengan gambaran yang menakutkan, gambaran api neraka di dalam perut dan
gambaran api yang menyala-nyala sejauh mata memandang. Sesungguhnya harta
anak-anak yatim yang mereka makan itu tidak lain adalah api neraka, dan mereka
memakan api ini. Tempat kembali mereka adalah ke neraka yang membakar perut dan
kulit mereka. Api di dalam dan api di luar. Itulah api neraka yang
dipersonifikasikan. Sehingga, api neraka itu seakan-akan dirasakan oleh perut dan
kulit, dan terlihat oleh mata, ketika ia membakar perut dan kulit.[39]
Keterangan di atas menunjukkan
betapa Islam itu benar-benar melindungi serta memperhatikan anak yatim, dan
memperingatkan pada umat Islam, seluruhnya tanpa terkecuali untuk berhati-hati
jangan sampai memakan harta anak yatim tersebut. Dengan gambaran yang
menakutkan serta ancaman yang keras, ayat ini bertjuan untuk mengingatkan agar
para wali tidak berlaku semena-mena dengan harta anak yatim dan berupaya untuk
menghindarkan diri dari ketamakan hati untuk menguasai harta anak yatim.
KESIMPULAN
· Anak yatim adalah anak kecil yang belum dewasa, laki-laki
ataupun perempuan, yang ditinggal mati oleh ayahnya, sementara ia masih belum
mampu mewujudkan kemaslahatan bagi masa depannya.
· Anak yatim juga memiliki hak yang sama seperti anak-anak
lainnya. Hanya saja, mereka memang memerlukan perhatian yang lebih, karena ketiadaan
orang yang bertanggung jawab dalam menafkahi mereka. Selanjutnya tanggung jawab
akan pemeliharaan mereka diserahkan sepenuhnya kepada keluarga terdekat mereka,
dan jika tidak ada maka ia menjadi tanggung jawab seluruh umat Islam.
· Alquran memberikan tuntunan tentang pemeliharaan anak
yatim, meliputi:
1. Perawatan diri anak yatim, yakni memperlakukan mereka
secara patut dan tidak membeda-bedakan dengan anggota keluarga lainnya, baik
dalam hal pakaian, makan, minuman, maupun tempat tinggal, sehingga mereka tidak
merasa terhina dan benar-benar dianggap sebagai bagian dari keluarga.
2. Pembinaan moral bagi anak yatim, yakni upaya untuk
membantu mereka dari segi pendidikan dan pembinaan akhlak yang mulia. Anak
yatim juga merupakan generasi penerus bangsa yang dipundaknyalah kelak
tergantung kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Jika akhlak mereka buruk,
maka akan berdampak pada masyarakat lain di sekitarnya.
3. Alquran memberikan tuntunan terhadap para wali anak yatim
dalam penggunaan harta anak yatim dengan memberikan tanggung jawab pada mereka
agar tidak mencampur adukkan harta wali yang kaya dengan harta anak yatim,
untuk menghindarkan diri dari memakan hak anak yatim di luar ketentuan yang
telah ditetapkan oleh syariat. Adapun bagi wali yang miskin, maka ia
diperkenankan mempergunakan harta anak yatim itu apabila dalam keadaan terpaksa dan hanya seperlunya saja, dan
berkeinginan untuk menggantinya jika ia sudah mampu. Wali juga harus mengadakan
saksi saat tiba waktu pengembalian harta anak yatim, yakni ketika ia telah
dewasa. Dan bagi orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, maka Allah
telah menjanjikan pada mereka azab yang pedih, yang akan mereka rasakan kelak
di akhirat.
Bachtiar, Siti Aisyah Nurmi, Hak Anak dalam Konvensi dan
Realita, No. 03, Tahun XIV, Jakarta: Majalah Hidayatullah, 2001.
Bâqi, Fu’ad
‘Abd al-, Al-Mu’jam
al-Mufahraz li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, Indonesia :
Maktabah Dahlan, t. th.
Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam, Jakarta :
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Farmawiy, Abd
al-Hayy al-, Al-Bidâyah fi
al-Tafsîr al-Maudhû’iy, Dirâsah Manhajiyyah Maudhû’iyyah, diterjemahkan
oleh Suryan A. Jamrah dengan judul Metode
Tafsir Mawdhu’iy (Studi Pengantar), Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1994.
Hasyimi, ‘Abd
al-Hamid al-, al-Rasûlu
al-‘Arabiyyu al- Murabbiy, diterjemahkan oleh Ibn Ibrahim dengan judul Mendidik Ala Rasulullah, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2001.
Hazin, Nur
Kholif, Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia , Surabaya:
Terbit Terang, 1994.
Hayat,
Zakiyatul, Pemeliharaan
Anak Yatim Dalam Persfektif Alquran,Skripsi, Banjarmasin:
IAIN Antasari, 2002.
Hidayat,
Rachmat Taufiq, Khazanah
Istilah Alquran, Bandung: Mizan, 1999.
HS,
Fachruddin dan Irfan Fachruddin (penerj.), Pilihan
Sabda Rasul (Hadis-hadis Pilihan), Jakarta:
Bumi Aksara, 1997.
Jurjâniy,
‘Aliy ibn’ Muhammad al-, Kitab
al-Ta’rîfât, Beirut:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1408 H/ 1988 M.
Lopa,
Baharuddin, Alquran dan
Hak-hak Azasi Manusia, Yogyakarta:
Dana Bhakti Prima Yasa, 1999.
Marâghiy,
Ahmad Mushtofâ al-, Tafsir
Al-Marâghiy, diterjemahkan oleh Bahran Abu Bakar dan Hery Noer Aly,
cet. I, juz. I, II, IV, VIII, XII,Semarang :
Toha Putra, 1986.
Math,
Muhammad Faiz al-, Min
Mu’jizât al-Islâm, diterjemahkan oleh Masykur Halim dengan judul Keistimewaan-keistimewaan Islam,Jakarta :
Gema Insani Press, 1994.
Mujieb, M.
Abdul, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1994.
M.Z, Labib
dan Muhtadin, 90 Dosa-dosa
Besar, Surabaya:
Tiga Dua, 1994.
Quthb, Sayyid , Fî Zhilâl al-Qur’ân,
diterjemahkan oleh As’ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil dan Muchotob Hamzah
dengan judul Tafsir Fi
Zhilal Alquran: Di bawah Naungan Alquran, jilid II dan IV,Jakarta :
Gema Insani Press, 2000.
Shihab, Muhammad Quraish, Membumikan Alquran, Fungsi dan
Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, cet. XXII, Jakarta: Mizan, 2001.
Syaltut,
Mahmud , Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm,
diterjemahkan oleh Herry Noer Ali dengan judul Tafsir Alquran al-Karim (Pendekatan Syaltut dalam
Menggali Esensi Alquran), Bandung:
Diponegoro, 1990.
Tim Penyusun
Kamus Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
edisi ke-2, cet. ke-3, Jakarta:
Balai Pustaka, 1990.
Yunus,
Mahmud, Kamus
Arab-Indonesia, cet.
I, Jakarta:
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsiran Alquran, 1973.
[1] Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Alquran (Fungsi dan
Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat) (Jakarta:
Mizan, 2001), cet. XXII, h. 33.
[3] Fu’ad ‘Abd
al-Bâqi, Al-Mu’jam al-Mufahraz
li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm(Indonesia: Maktabah Dahlan, t. th), h. 936.
[4] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/ Pentafsiran Alquran, 1973), cet. I, h. 506.
[6] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Qâmûs Al-‘Ashriy ( Kamus
Kontemporer) Arab-Indonesia (Yogyakarta:
Multi Karya Grafika, 1998), cet. IV, h. 2045.
[7]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994), h. 206.
[9]M. Abdul Mujieb, Kamus Istilah Fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h.
425. Bandingkan dengan pengertian yatim dalam Tim Penyusun Kamus Pusat
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1990), edisi ke-2, cet. ke-3, h. 1015; ‘Aliy ibn’ Muhammad
al-Jurjâniy, Kitab al-Ta’rîfât (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1408 H/ 1988 M), h. 258.
[10] Ahmad Mushtofâ al-Marâghiy, Tafsir Al-Marâghiy,
diterjemahkan oleh Bahran Abu Bakar dan Hery Noer Aly (Semarang: Toha Putra,
1986), cet. I, juz. IV, h. 322-323.
[13] Zakiyatul Hayat, Pemeliharaan Anak Yatim Dalam
Persfektif Alquran(Banjarmasin :
IAIN Antasari, 2002), Skripsi,
h. 16.
[14] Baharuddin Lopa, Alquran dan Hak-hak
Azasi Manusia (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1999), h. 76.
[15] Siti Aisyah Nurmi Bachtiar, Hak Anak
dalam Konvensi dan Realita (Jakarta :
Majalah Hidayatullah, 2001), No. 03, Tahun XIV.
[18] Abd al-Hayy al-Farmawiy, Al-Bidâyah fi al-Tafsîr
al-Maudhû’iy, Dirâsah Manhajiyyah Maudhû’iyyah, diterjemahkan oleh Suryan
A. Jamrah dengan judul Metode
Tafsir Mawdhu’iy (Studi Pengantar) (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1994), h. 70.
[19] Mahmud Syaltut, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm,
diterjemahkan oleh Herry Noer Ali dengan judul Tafsir Alquran al-Karim (Pendekatan
Syaltut dalam Menggali Esensi Alquran) (Bandung:
Diponegoro, 1990), h. 358.
[21] Ibid. Lebih lanjut lihat Muhammad Faiz al-Math, Min Mu’jizât al-Islâm,
diterjemahkan oleh Masykur Halim dengan judul Keistimewaan-keistimewaan
Islam(Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 98.
[22] Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân,
diterjemahkan oleh As’ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil dan Muchotob Hamzah
dengan judul Tafsir Fi Zhilal
Alquran: Di bawah Naungan Alquran (Jakarta :
Gema Insani Press, 2000), jilid II, h. 113.
[25] Fachruddin HS dan Irfan Fachruddin
(penerj.), Pilihan Sabda Rasul
(Hadis-hadis Pilihan) (Jakarta:
Bumi Aksara, 1997), h. 7.
[30] ‘Abd al-Hamid al-Hasyimi, al-Rasûlu
al-‘Arabiyyu al- Murabbiy, diterjemahkan oleh Ibn Ibrahim dengan judul Mendidik Ala Rasulullah (Jakarta :
Pustaka Azzam, 2001), h. 114.
[31] Labib M.Z. dan Muhtadin, 90 Dosa-dosa Besar (Surabaya: Tiga Dua, 1994), h. 115.
Dikutip dari Zakiyatul Hayat, Op.
Cit., h. 49.
[35] Zakiyatul Hayat, Op. Cit., h. 61-62. Lebih
lanjut mengenai penafsiran ayat ini lihat Ahmad Mushthofâ al-Marâghiy, Op. Cit., juz IV, h. 340-344.
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Komentar