MENOLONG ANAK YATIM
Hadis yang diriwayatkan
Imam Bukhari bersumber dari Sahl bin Sa’ad bahwasanya Rasulullah saw.
bersabda, “Saya yang menanggung (memelihara) anak yatim dengan baik ada di
surga bagaikan ini, seraya Beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan
jari tengah dan Beliau rentangkan kedua kaki jarinya itu” (H.R. Bukhari).
Menolong anak yatim
merupakan hal yang mulia. Selain ada di panti-panti asuhan, ada pula anak-anak
yatim yang tinggal di rumah-rumah biasa bersama ibunya. Nah anak-anak yatim
seperti itulah yang harus benar-benar kita perhatikan karena belum tentu ada
yang menolong mereka.
Allah sendiri berfirman
yang artinya, “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig)
harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan
kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan
(menukar dan memakan) itu, adalah dosa besar (An-Nisaa:2).
beberapa hadits yang
berkenaan dengan anak yatim
1. Hadits Pertama
مَنْ ضَمَّ يَتِيْمًا
بَيْنَ أَبَوَيْنِ مُسْلِمَيْنِ فِيْ طَعَامِهِ وَ شَرَابِهِ حَتَّى يَسْتَغْنِيَ
عَنْهُ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ
“Barang siapa yang
mengikutsertakan seorang anak yatim diantara dua orang tua yang muslim,
dalam makan dan minumnya, sehingga mencukupinya maka ia pasti masuk
surga.” [HR. Abu Ya’la dan Thobroni, Shohih At Targhib, Al-Albaniy :
2543].
2. Hadits Kedua
“Ada seorang laki-laki
yang datang kepada nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mengeluhkan
kekerasan hatinya. Nabipun bertanya : sukakah kamu, jika hatimu menjadi
lunak dan kebutuhanmu terpenuhi ? Kasihilah anak yatim, usaplah mukanya,
dan berilah makan dari makananmu, niscaya hatimu menjadi lunak dan
kebutuhanmu akan terpenuhi.” [HR Thobroni, Targhib, Al Albaniy :254]
ALLAHUMAJ’ALNA MINHUM YA
RABB…
3. Hadits ketiga
Suatu ketika Saib bin
Abdulloh rodhiyallohu ‘anhu datang kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam,
maka Nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya :
ياَ سَائِبُ انْظُرْ أَخْلاَقَكَ الَّتِيْ كُنْتَ تَصْنَعُهَا فِيْ الجْاَهِلِيَّةِ فَاجْعَلْهَا فِيْ اْلإِسْلاَمِ. أَقْرِ
الضَّيْفَ و أَكْرِمِ الْيَتِيْمَ وَ أَحْسِنْ إِلَى جَارِكَ
ياَ سَائِبُ انْظُرْ أَخْلاَقَكَ الَّتِيْ كُنْتَ تَصْنَعُهَا فِيْ الجْاَهِلِيَّةِ فَاجْعَلْهَا فِيْ اْلإِسْلاَمِ. أَقْرِ
الضَّيْفَ و أَكْرِمِ الْيَتِيْمَ وَ أَحْسِنْ إِلَى جَارِكَ
“Wahai
Saib, perhatikanlah akhlak yang biasa kamu lakukan ketika kamu masih dalam
kejahiliyahan, laksanakan pula ia dalam masa keislaman. Jamulah
tamu, muliakanlah anak yatim, dan berbuat baiklah kepada tetangga.” [HR.Ahmaddan Abu Dawud, Shohih Abu Dawud,
Al-Albani : 4836]
4. Hadits keempat
Dalam sebuah atsar
disebutkan riwayat dari Daud ‘alaihissalam, yang berkata:
كُنْ لِلْيََتِيْمِ كَاْلأَبِ الرَّحِيْمِ
كُنْ لِلْيََتِيْمِ كَاْلأَبِ الرَّحِيْمِ
“Bersikaplah kepada anak
yatim, seperti seorang bapak yang penyayang.” [HR.
Bukhori]
Bukhori]
Menyantuni Anak Yatim
Oleh Frisko Kusuma
Sumber : http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1204/10/renungan_jumat.htm
Sumber : http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1204/10/renungan_jumat.htm
ANAK yatim adalah anak yang ditinggalkan mati ayahnya selagi ia
belum mencapai umur balig. Dalam Islam, anak yatim memiliki kedudukan
tersendiri. Mereka mendapat perhatian khusus dari Rasulullah saw. Ini tiada
lain demi untuk menjaga kelangsungan hidupnya agar jangan sampai telantar
hingga menjadi orang yang tidak bertanggung jawab.
Oleh karena itu, banyak sekali hadis yang menyatakan betapa
mulianya orang yang mau memelihara anak yatim atau menyantuninya. Sayang,
anjuran Beliau itu sampai kini belum begitu mendapat tanggapan yang positif
dari masyarakat. Hanya sebagian kecil saja umat Islam yang mau memperhatikan
anjuran itu. Hal ini semestinya tidak layak dilakukan umat Islam yang inti
ajarannya banyak menganjurkan saling tolong sesama umat Islam dan bahkan selain
umat Islam.
Di Indonesia, khususnya di desa-desa, sampai sekarang kebiasaan
memberi uang ala kadarnya pada tanggal 10 Muharam kepada anak yatim masih
berlaku. Pada setiap tanggal 10 Muharam, anak-anak yatim bergerombol-gerombol
mendatangi rumah-rumah orang kaya atau para dermawan. Di situ mereka memperoleh
pembagian uang. Kebiasaan demikian sungguh amat terpuji, tetapi apakah para
anak yatim hanya butuh bantuan sekali itu?
Tentunya tidak. Mereka membutuhkan bimbingan sampai dirinya
mampu mengarungi bahtera kehidupannya sendiri. Betapa mulianya orang yang mau
berbuat demikian, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari bersumber
dari Sahl bin Sa’ad bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Saya yang menanggung
(memelihara) anak yatim dengan baik ada di surga bagaikan ini, seraya Beliau
memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah dan Beliau rentangkan
kedua kaki jarinya itu” (H.R. Bukhari).
Allah sendiri berfirman yang artinya, “Dan berikanlah kepada
anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik
dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu.
Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa besar
(An-Nisaa:2).
Anak yang ditinggal mati oleh ibunya ketika ia masih kecil
bukanlah termasuk anak yatim. Sebab bila kita lihat arti kata yatim sendiri
ialah kehilangan induknya yang menanggung nafkah. Di dalam Islam yang menjadi
penanggung jawab urusan nafkah ini ialah ayah, bukan ibu. Alquran telah
menjelaskan adanya larangan memakan harta anak yatim dengan cara lalim
sebagaimana firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya orang yang memakan harta
anak yatim secara lalim. Sebenarnya mereka itu menelan api neraka sepuluh
perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala” (An-Nisaa: 10).
Ismail bin Abdurrahman berkata, “Pemakan harta anak yatim dengan
lalim itu besok di hari kiamat akan dikumpulkan dan di waktu itu keluarlah api
yang menyala-nyala dari mulutnya, telinganya dan matanya sehingga semua orang
mengenalnya bahwa ia sebagai pemakan harta anak yatim.”
Para ulama berkata, bagi setiap wali anak yatim bilamana ia
dalam keadaan fakir diperbolehkan baginya memakan sebagian anak yatim dengan
cara ma’ruf (baik) menurut sekadar kebutuhannya saja demi kemaslahatan untuk memenuhi
kebutuhannya tidak boleh berlebih-lebihan dan jika berlebih-lebihan akan
menjadi haram. Menurut Ibnul Jauzi dalam menafsirkan “bil ma’ruf” ada 4 jalan
yaitu, pertama, mengambil harta anak yatim dengan jalan kiradl. Kedua,
memakannya sekadar memenuhi kebutuhan saja. Ketiga, mengambil harta anak yatim
hanya sebagai imbalan, apabila ia telah bekerja untuk kepentingan mengurus
harta anak yatim itu, dan keempat, memakan harta anak yatim tatkala dalam
keadaan terpaksa, dan apabila ia telah mampu, harus mengembalikan dan jika ia
benar-benar tidak mampu hal tersebut dihalalkan.
Kecuali mengancam orang yang merugikan harta anak yatim, Allah
juga akan mengangkat derajat orang-orang yang suka menyantuni anak yatim;
sebagaimana sabda Nabi, “Barang siapa yang menanggung makan dan minum
(memelihara) anak yatim dari orang Islam, sampai Allah SWT mencukupkan dia,
maka Allah mengharuskan ia masuk surga, kecuali ia melakukan dosa yang tidak
terampunkan” (H.R. Turmudzi).
Dari hadis ini, memberikan jaminan bagi orang-orang yang mau
mengasuh anak yatim akan memperoleh imbalan pahala dari Allah SWT, berupa surga
yang disejajarkan dengan surga Nabi saw., kecuali ia melakukan dosa-dosa yang
tidak terampunkan oleh Allah SWT. Demikianlah kewajiban kita sebagai umat Islam
dalam menyantuni anak yatim.***
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Komentar